- Home
- No Label
- Mainan Tradisional Masuk Sekolah
Mainan Tradisional Masuk Sekolah
Maraknya permainan semacam PS, Nintendo, X-box, dan sejenisnya, membuat anak-anak saat ini tak lagi mengenal permainan tradisional seperti petak umpet, galasin, dampu, bentengan, lompat tali, cutik, congkak/dakon, atau bekel. Semakin sempitnya ruang untuk bermain bagi anak-anak merupakan salah satu alasan mengapa permainan tradisional yang dulu banyak dimainkan di halaman rumah menjelang sore kini kian terpinggirkan. Belum lagi derasnya pengaruh modernisasi dan globalisasi berupa aneka permainan elektronik.
Uniknya, di tengah keprihatinan terhadap permainan tradisional yang semakin tergerus zaman, ada beberapa sekolah yang justru masih mempertahankannya, bahkan memasukkannya secara resmi dalam proses pembelajaran murid-muridnya. Entah menghidupkannya dalam keseharian anak-anak seperti yang dilakukan di Play Group & TK Al Alaq di kawasan Jatikramat, Bekasi; dalam pelajaran olahraga untuk anak kelas 3 ke atas seperti di Tiara School yang berlokasi di kawasan Jakarta Timur; atau sebagai salah satu pilihan ekstrakurikuler seperti yang diterapkan SD Santa Ursula Tangerang.
Mengasah sosialisasi
Kepala SD St Ursula Emah Suhamah mengatakan, ekskul permainan tradisional sudah diselenggarakan sejak sekitar 5 tahun lalu di sekolahnya. Sang penggagas adalah Sr Francesco Marianti OSU yang waktu itu mengepalai Sekolah St Ursula. Biarawati dari Ordo Ursulin ini sangat prihatin melihat mayoritas anak didik begitu tertarik pada games yang bersifat individualis. Padahal, permainan tradisional amat sarat manfaat, di antaranya mengembangkan kemampuan bersosialisasi karena selalu dimainkan bersama-sama, mengasah kemampuan kognitif anak, sekaligus melatih kemampuan motorik kasar dan motorik halus. Selain itu, lewat permainan tradisional anak pun belajar bekerja sama dan kejujuran.
Mengingat padatnya beban pelajaran sekolah, pihak sekolah tak ingin membuat siswa merasa tambah terforsir dengan jenis ekskul yang bersifat memberatkan. Jadi, ragam ekskul pun dipilih yang benar-benar menyenangkan sekaligus mendidik, yakni seni tari (baik tradisional maupun kontemporer) dan seni lukis. Sedangkan permainan tradisional hanya diajarkan kepada siswa kelas 1 dan 2. Pertimbangannya, di rentang usia ini anak yang masih berada dalam masa peralihan TK ke SD dianggap masih perlu banyak bermain sambil belajar bersosialisasi.
Di SD yang terletak di kawasan Kota Mandiri BSD, Tangerang, ini semua pelajaran ekskul diberikan selama 60 menit setiap kelas, dengan ditemani dua guru pendamping. Pihak sekolah setidaknya menyediakan 40 bola bekel lengkap dengan bijinya, ditambah sekitar 20-an papan congkak, roncean karet gelang untuk main lompat karet, dan engklek yang sudah “dipatenkan” dengan materi keramik di lapangan outdoor.
Tak perlu dinilai
Dra Mayke S Tedjasaputra, MSi., play therapiest dan psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia memuji inisiatif sekolah-sekolah yang memasukkan permainan tradisional dalam keseharian siswa di sekolah. Tak bisa dimungkiri kalau permainan tradisional merupakan sarana bersosialisasi anak dengan teman sebaya dan juga sarana melatih berhitung, di samping motorik halus dan kasar.
Menurut Mayke, permainan-permainan tradisional idealnya ditujukan bagi anak usia SD sampai kelas 1-2 SMP. Kalau di bawah usia SD, dikhawatirkan anak belum paham. Pendampingan guru dalam permainan tradisional tetap diperlukan. Di awal, guru harus mengenalkan kepada anak bagaimana cara bermainnya, aturan mainnya seperti apa, bagaimana penggilirannya, dan sebagainya. Bila anak sudah paham, guru cukup mengawasi dari jauh dan segera menengahi tanpa memberikan komentar-komentar yang memojokkan. Cukup katakan, “Kamu pengin menang ya? Tapi kan enggak begitu caranya.”
Mayke menyarankan, permainan-permainan tradisional dimainkan di luar ruang sehingga anak bebas beraktivitas. Hanya saja, aktivitas ini sebaiknya tak dibakukan sebagai pelajaran dalam kurikulum sekolah. “Jadikan sebagai sesuatu yang betul-betul bisa dinikmati anak. Jadi, tak perlu dinilai, apalagi sampai membebani anak, semisal keharusan menghafal secara mati mengenai aturan dan hal remeh temeh lainnya. Menilainya dengan angka justru akan membuat permainan tradisional kehilangan makna fun-nya. Sayang kan?” tukas Mayke mengakhiri.
http://www.forumkami.com