
Menjadi guru membutuhkan energi besar. Tak hanya kemampuan intelektual yang diperlukan tetapi juga kematangan emosional menghadapi beragamnya karakter anak didik. Kemampuan intelektual bukanlah jaminan seorang guru mampu mengarahkan anak didiknya dengan baik, tetapi juga seorang guru harus memiliki ruang luas dalam hatinya untuk menampung berbagai persoalan ketika berhadapan dengan mereka. Knowledge is power but character is more, mungkin ungkapan ini bisa merepresentasekan sesuatu yang ideal dalam diri seorang guru yang digugu dan ditiru. Baik dari cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak.
Apalagi mereka yang berada di daerah-daerah yang masih baru dari akses informasi dan fasilitas pendidikan. Seperti di daerah saya, butuh orang-orang dengan kesabaran tinggi dalam mengembangkan potensi sumber daya manusia. Mereka yang hidup dan berkembang di daerah-daerah yang baru terbuka termasuk daerah pemekaran, akan mengalami shock budaya melihat betapa terlalu banyak hal yang harus dilihat dan dinikmati, seperti katak yang bebas dari kungkungan tempurung. Jika ini tidak dibarengi dengan kualitas mendidik guru yang baik, tidak menutup kemungkinan mereka terjebak pada kekagetan budaya sehingga tidak mampu lagi memilah apa yang baik dan buruk. Tentu saja ini tidak semata peran guru, tetapi orang tua dan lingkungan sekitar turut serta membentuk konsep diri seseorang. Herbert Spencer menyatakan bahwa masyarakat seperti tubuh manusia, seperti sebuah organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain. Sehingga perubahan pada satu sisi akan memberi dampak di sisi yang lain. Yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa perkembangan dan perubahan orang-orang muda itu berlangsung dalam kondisi yang sehat, baik dari sisi perubahan pemikiran maupun tindakan. Orang bijak mengatakan jangan biarkan anak muda berjalan sendiri karena ia akan berbuat semau-maunya. Disini signifikansi guru melakukan transfer ilmu, pengetahuan dan nilai kepada anak didiknya. Kebebasan harus diberikan kepada mereka sebagai hak untuk mengembangkan diri, tetapi nilai-nilai kebajikan universal juga harus dibenamkan ke dalam diri sehingga kebebasan melakukan atau tidak melakukan sesuatu memiliki fondasi pertanggungjawaban yang kokoh.
Kurikulum sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas anak didik memang diperlukan, tetapi mengajar dengan hanya berdasarkan kurikulum juga tidak memberi kontribusi banyak dalam kehidupan mereka. Mendidik dengan hati adalah kebutuhan utama dalam proses menumbuh kembangkan karekater bangsa. Ibu Muslimah dalam novel Laskar Pelangi sebagai guru yang mungkin terbatas dalam kapasitas intelektual, tetapi ia berhasil menyuntikkan alam pikiran global dengan bekal moral kepada anak didiknya, Ibu Musdalifah dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah yang mampu memantik semangat anak-anak yang tumbuh dalam kemiskinan untuk bangkit melawan realitas hidupnya. Atau para guru dan kiyai di Pondok Madani yang digambarkan Ahmad Fuadi dalam Novel Negeri 5 Menara yang terus menerus menyuntikkan kalimat Man jadda wa jada (siapa yang bersungguh sungguh ia akan dapat hasilnya) dan makna keikhlasan yang digali dari pengalaman hidup mereka sendiri kepada para santri.
Yang dibutuhkan adalah orang-orang ikhlas, bukannya tidak mengharap ganjaran dari pekerjaan mengajar dan mendidik, tetapi kemauan menjadi guru berasal dari dasar hati yang paling dalam; memberi kontribusi untuk negeri dan mencari bekal untuk kehidupan kekal. Sehingga yang selalu terpatri adalah doa-doa yang ditabur setiap hari ketika berjumpa dengan anak-anak zaman yang baru merekah menyaksikan mentari pagi menyembul dengan senyumnya. Jangan dibiarkan mereka menjadi layu sebelum berkembang, mati sebelum waktunya, hanya karena kita tak memberi mereka siraman yang tepat dengan dosis yang mantap. Mari kita jaga mereka dari berbagai hama yang menghinggapi, dari gangguan mereka yang tak mengingkannya tumbuh dengan baik. Sirami air dari mata air hati kita yang jernih karena itu adalah mata air yang tak pernah kering membasuh jiwa-jiwa yang kehausan mencari tempat berteduh di terik yang menyengat.