Bicara 'kotor' pada anak-anak usia sekolah

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri

Demikian antara lain isi puisi Dorothy Law Nolte yang berjudul "Children Learn What They Live". Melalui penggalan puisi tersebut, ada hikmah yang dapat kita ambil. Lingkungan tempat anak dibesarkan akan membentuk pribadinya ketika ia beranjak dewasa nanti.

Foto Illustrasi : Sekelompok siswa SD tampak jalan berkerumun usai  jam sekolah

Foto Illustrasi :
Sekelompok siswa SD tampak jalan berkerumun usai jam sekolah
Foto : Fadli Arfan

Acap kali kita merasa takjub akan hal-hal baru yang diserap adik-adik atau anak kita yang masih kecil dan berseragam merah-putih dari lingkungannya. Padahal kita tidak merasa membimbing atau mengajarkannya.

Pengetahuan, perilaku, dan kosa-kata baru yang didapatnya sering membuat kita tercengang. Misalnya, tiba-tiba saja si kecil merengek minta dibelikan gitar sambil mendemonstrasikan kemampuannya bermain alat musik tersebut dengan gitar pinjaman. Atau, ketika sang ibunda sedang berkomat-kamit menghitung belanjaan, seketika si kecil menyeletuk menyebutkan total belanjaannya. Mungkin juga di suatu pagi yang tak anda sangka dia menyapa anda dengan penuh gaya mengucap "good morning!".

Sayangnya, tak semua yang didapatnya ialah hal-hal yang baik. Ketakjuban yang dialami seketika bisa berubah menjadi shock ketika si kecil dengan entengnya mengeluarkan kata-kata 'kasar' dan 'sumpah serapah' membawa-bawa nama hewan peliharaan, satwa kebun binatang, kotoran, bahkan hingga ke bagian-bagian sensitif dari aurat manusia, juga istilah hubungan badan dengan berbagai variasi kosa-kata dan bahasa. Meski, sebagian dari kata-kata yang terlontar tersebut mungkin belum mereka pahami artinya.

Jika merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kasar, bermakna antara lain tidak halus, bertingkah laku tidak lemah lembut, dan tidak baik buatannya. Sesuatu yang tidak baik, sebagaimana diketahui, sering menimbulkan sejumlah persoalan mengarah ke hal yang negatif.

Pengaruh yang diakibatkan dari kata-kata kasar (negatif) sesungguhnya amat besar bagi perkembangan jiwa seseorang, baik untuk yang mengucapkannya ataupun orang lain yang menjadi obyek ucapan tersebut. Ketika kata-kata negatif dilontarkan oleh seseorang, maka orang lain dapat berkesimpulan seperti apa watak orang tersebut. Manakala kata-kata negatif itu ditujukan kepada diri sendiri, maka ia dapat menjadi sosok yang kerdil, tidak 'pede', emosional, tidak bersemangat, tertutup, tidak punya keyakinan untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya menyulitkannya untuk berkembang. Mungkin ia akan berjalan di tempat sementara orang lain berlari maju, atau malah surut ke belakang.

Fenomena mengucapkan kata-kata 'kotor' oleh anak sekolah ini sekarang tak sulit untuk dijumpai. Biasanya mereka mengucapkan kata-kata ini ketika jauh dari pengawasan orangtua dan gurunya, sedang bergerombol bersama rekan sebaya, kemudian saling 'menyapa' rekannya dengan bertukar kalimat 'wasiat' tersebut. Momen ini dapat diamati ketika jam-jam pulang sekolah.

Kata-kata kasar ini dapat menjelma menjadi momok yang menakutkan dan mengkhawatirkan bagi perkembangan jiwa anak-anak, maka sudah seharusnyalah kita, sebagai bagian dari lingkungan, mewaspadai dan mengantisipasi masalah ini. Karena memang, fenomena ini sekarang tak sulit lagi untuk ditemui di wilayah kemayoran, daerah tempat tinggal kita bersama.

Ati (35 th), seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Jl. Serdang Baru, Serdang, mengatakan bahwa meskipun anak-anak yang tinggal di lingkungan gangnya tidak ada yang berbicara kasar dan kotor, namun ia sering menjumpai anak-anak usia Sekolah Dasar lewat di depan rumahnya sambil meneriakkan kata-kata berbau 'kebun binatang' sampai bagian aurat manusia. Perbedaan hal ini dengan dulu dirasakan sangat signifikan olehnya.

Tak urung fenomena ini menimbulkan kekhawatiran Ati jika menular ke anaknya, karena ia memiliki dua orang anak yang masih kecil, yaitu Nadya (4 th) dan Rafa (7 bln). Ia sering mengatakan kepada anaknya: "Kamu main enggak boleh lama..", ucapnya. "Bukannya apa, tapi ngeri dari pengaruh kata-katanya itu, soalnya dia main kemana-mana ..", tuturnya lebih lanjut kepada kami.

Dalam pengawasan orangtua dan guru, bisa jadi mereka mengeluarkan kalimat 'baik-baik'. Namun ini tidak menjamin kata-kata 'kotor' itu belum terserap oleh mereka. Orangtua biasanya baru tersadar ketika secara tak sengaja si kecil kelepasan ngomong tatkala sedang jengkel atau marah. Bila ternyata kata-kata 'kotor' tersebut diucapkan secara sadar didepan orangtua, masalah yang dihadapi lebih serius. Karena ini berarti ia merasa tak ada yang salah dengan mengucapkan kata tersebut, dan menganggap lingkungan keluarga menyetujuinya, atau ia sudah tidak mempedulikan nilai yang dianggap baik di keluarga.

Tuntutan Lingkungan

Menurut teori Erikson, anak-anak usia sekolah, tepatnya usia 6 sampai 12 tahun melihat apa yang dituntut oleh lingkungan, terutama dalam konteks sekolah dan sosial pertemanan. Mereka perlu mengatasi tuntutan tersebut dengan belajar lewat interaksi yang dialaminya di lingkungan, termasuk keluarga, sekolah, serta pertemanan.

Melalui lingkungan tersebut mereka menangkap hal-hal apa yang 'baik', yang membuatnya merasa mampu/kompeten dan diterima lingkungan. Perasaan 'mampu' tersebut akan meningkatkan perilaku mereka.

Anak-anak yang mendapat dukungan dan bimbingan terarah dari orang tua dan guru akan mengalami masa ini lebih positif. Dukungan tersebut akan mengembangkan rasa percaya terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk bisa mencapai keberhasilan.

Sementara bila kurang mendapat dukungan dan bimbingan, mereka akan merasa ragu dengan kemampuan yang dimiliki. Bagi anak-anak yang mengalami hambatan dalam melalui tahapan ini, mereka merasa tidak mampu menangkap tuntutan dan akan muncul rasa inferior, perasaan tidak mampu dan tidak percaya diri. Dengan tumbuhnya rasa inferior, ia akan mencari lingkungan lain yang memungkinkan dirinya merasa 'mampu'. Bisa jadi lingkungan tersebut adalah lingkungan yang menganut nilai berbeda dari apa yang diajarkan oleh lingkungan keluarga dan sekolahnya, dan mungkin membawa nilai-nilai negatif.

Dalam kaitannya dengan fenomena bicara 'kotor' pada anak-anak. Perilaku ini menjadi berkembang ketika lingkungan pergaulan memberikan dukungan, dan dengan melakukan perilaku berbicara 'kotor' tersebut mereka merasa berarti, mendapat pengakuan dari teman-temannya.

Perilaku tersebut juga mungkin terjadi pada anak-anak yang mengalami kesulitan merasa kompeten di sekolah atau kurang mendapat pengakuan dalam keluarganya terutama orang tua, akibat kurangnya bimbingan dan pengarahan.

Hiburan dan Tayangan Televisi

Pengaruh lain yang memberikan andil pada perilaku anak ialah hiburan/tontonan. Dalam hal ini, salah satu hiburan yang sering diakses anak biasanya ialah tayangan televisi. Melalui kotak elektronik ini anak bisa mendapatkan dan meniru aneka kosakata serta tingkah laku, termasuk yang negatif. Maraknya tayangan yang menyampaikan kata-kata vulgar berbau umpatan tentu saja meresahkan orangtua yang memiliki anak. Mungkin a
da yang masih ingat kasus seorang anak yang mati pada tahun 2006 karena di 'smackdown' temannya akibat meniru tayangan televisi?, pengaruh yang sama dapat muncul dalam bentuk kosa-kata 'kasar'.

Sekarang ini, bahkan acara televisi yang dikhususkan untuk anak-anakpun, terkadang menyajikan tayangan yang didalamnya berisi kata-kata kurang pantas untuk telinga anak. Seleksi tayangan televisi yang akan ditonton anak perlu diberlakukan untuk mencegah dan meminimalkan efek negatif yang timbul melalui tayangan.

Menurut hasil penelitian, ternyata ada hubungan yang signifikan antara frekuensi menonton televisi dengan perilaku kasar anak-anak kepada orangtua, sesama teman, guru dan orang lain. Perilaku kasar yang dapat muncul tersebut antara lain: tidak mematuhi perintah, menyakiti perasaan, kurang/tidak menghormati, menyakiti perasaan guru dan temannya, berkelahi, memukul, membohongi, menakut-nakuti temannya, serta sejumlah perilaku kasar atau kotor lainnya.

Bukan hanya tayangan televisi, lagu yang memiliki lirik kurang pantas untuk dinyanyikan anak, aneka buku bacaan baik cerita ataupun komik, serta video game juga mempunyai potensi pembawa pengaruh buruk. Namun hal tersebut bukan berarti kita harus menghalangi akses yang menjadi hiburan anak, tidak semua yang didapat dari hiburan ialah hal buruk. Hal-hal baik seperti kreatifitas, dan rangsangan pengetahuan melalui buku, merupakan beberapa sisi positifnya. Pada intinya yang perlu dilakukan ialah pengawasan dan kontrol.

Dimulai dari Keluarga

Keterampilan berbicara si kecil tentunya tidak didapat begitu saja bagai wangsit, melainkan dipelajari dari lingkungan sekitar, yakni keluarga, sekolah, tempat bermain, disamping faktor-faktor lainnya.

Keluarga sebagai lingkungan terdekat mempunyai pengaruh paling besar dalam pembentukan perilaku. Terkadang secara tidak sadar, ada pengucapan kata-kata 'kotor' terlontar dari anggota keluarga lainnya yang terdengar oleh si kecil, dan ditiru olehnya.

Bila lingkungan dalam keluarga sudah kondusif, lingkungan lainnya seperti sekolah dapat disiasati melalui kerjasama dengan guru untuk pengawasan. Sesekali anda juga perlu menengok tempat bermain si kecil untuk mengetahui perkembangan dan keadaan lingkungan tempatnya bermain.

Pengarahan dalam berperilaku terhadap si kecil di keluarga juga perlu diperhatikan oleh seluruh anggota keluarga (remaja & dewasa) lainnya, termasuk si 'mbok'. Karena merekalah orang-orang yang sehari-harinya banyak berinteraksi dengan si kecil.

Membiasakan anak untuk berbicara dengan baik perlu dilakukan sejak dini. Bila sudah terlanjur bicara 'kotor', mengubahnya memang bukan sesuatu yang mudah. Namun dalam rentang usia sekolah, taraf berpikir mereka sesungguhnya sudah mampu untuk diberikan pemahaman akan sesuatu yang baik dan tidak baik. Hanya saja, kita perlu mengarahkan mereka untuk bisa menilai sendiri mana lingkungan yang baik, dan mana yang tidak baik untuk mereka.

Apapun kondisinya, pengaruh terbesar dan pertahanan terbaik tetap berada di keluarga. Jadikan keluarga anda sebagai pemberi pengaruh baik paling besar pada si kecil. Jangan sampai justru lingkungan keluarga yang memberikan pengaruh dan dukungan buruk, kemudian si kecil menularkannya di lingkungan teman-temannya! Amit-amit!!

Majalah Jurnal Kemayoran