Sekolah Tarik Denda bagi Siswa Nakal

Muncul cara baru pihak sekolah untuk membuat jera siswa yang nakal. Memasuki tahun ajaran baru ini, Kepala SDN Sidokumpul 2 Kecamatan Gresik membuat aturan menarik denda bagi siswa yang bandel. Ada belasan item pelanggaran dengan nilai denda maksimal Rp 50.000.

Aturan tersebut dicetak di selebaran warna-warni dan ditempel di sudut-sudut sekolah dengan judul “SDN 2 Sidokumpul Gresik Menjadi Sekolah Nyaman (The Fine School)”. Para siswa juga mendapatkan selebaran tersebut.

sumber ilustrasi http://www.nelzaonline.co.cc

Aturan tanpa tanda tangan itu memuat 14 jenis pelanggaran siswa disertai besaran dendanya. Pada bagian bawah selebaran tertulis “Uang akan dikumpulkan di bendahara paguyuban kelas masing-masing”.

Denda tersebut berlaku bagi seluruh siswa mulai kelas 1 hingga kelas VI. Besarnya denda bervariasi, dari yang terkecil Rp 3.000 hingga Rp 50.000.

Pengenaan denda tersebut mirip dengan denda pelanggaran tindak pidana ringan (tipiring) yang biasanya dikenakan untuk pedagang kaki lima (PKL) dan pekerja seks komersial (PSK) yang melanggar ketertiban umum saat sidang di pengadilan negeri.

Selain tidak ditandatangani, selebaran itu juga tidak memuat jelas dasar hukum pengenaan denda, serta ancaman bagi siswa yang tidak membayar denda.

Dalam daftar denda itu, antara lain, dicantumkan denda Rp 50.000 dikenakan kepada siswa yang ketahuan berkelahi atau terlibat perkelahian. Sedangkan yang ketahuan mencuri harus membayar denda Rp 40.000, membawa handphone ke sekolah didenda Rp 30.000, atau ketahuan memanjat pohon atau gawang di sekolah didenda Rp 20.000.

Untuk denda yang tergolong kecil, misalnya, terlambat masuk sekolah harus bayar Rp 5.000, buang sampah sembarangan didenda Rp 4.000, berkata bohong didenda Rp 6.000, atau ketahuan berkata jorok harus bayar Rp 15.000. (Selengkapnya baca tabel di halaman 1, - Red)

Salah seorang wali murid, saat mengadu di Balai Wartawan Gresik mengaku, selama ini mereka tidak pernah diajak bicara oleh pihak sekolah maupun komite mengenai pemberlakuan denda kenakalan siswa tersebut. Mereka baru tahu ada peraturan tersebut setelah anaknya membawa pulang selebaran tersebut dari sekolah.

Mereka juga mempertanyakan kriteria pengenaan denda, seperti apakah siswa boleh melakukan pembelaan, serta uang hasil denda nantinya untuk apa, dan bagaimana pertanggungjawabannya. Seperti dalam poin `Mengabaikan Guru didenda Rp 15.000`, wali murid mempertanyakan kriteria mengabaikan guru itu seperti apa. “Apakah saat guru menerangkan, lalu ada siswa membaca, apa dianggap mengabaikan guru? Parameter pelanggaran ini juga tidak dijelaskan kepada kami, sehingga kami juga tidak bisa menjelaskan kepada anak-anak agar tidak melanggar aturan,” keluh wali murid yang tak mau disebutkan namanya karena khawatir berimbas pada anaknya di sekolah.

Munculnya aturan tersebut juga dirasakan akan semakin menambah beban orangtua. Sebab sebelumnya pihak sekolah telah menarik biaya yang totalnya mencapai Rp 930.000. Dengan rincian untuk pembelian buku di luar BOS sebesar Rp 659.000, serta biaya kegiatan ekstrakurikuler Rp 271.000.

Berdalih karena Usulan

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik Drs Chusaini Mustas mengaku belum menerima laporan adanya selebaran tentang tarikan denda bagi siswa nakal di SDN Sidokumpul 2 tersebut. Dia meminta persoalan itu diklarifikasikan langsung ke kepala sekoleh (kasek) setempat, karena kebijakan itu bukan produk dinas pendidikan.

“Silakan dikonfirmasi sendiri ke kepala sekolahnya, saya tidak mengurusi persoalan kebijakan sekolah. Saya hanya mengurusi masa depan dinas pendidikan di Gresik,” tegas Chusaini Mustas, Rabu (14/7).

Kepala SDN Sidokumpul 2 Kecamatan Gresik, Haniah saat dikonfirmasi mengakui sengaja membuat aturan denda tersebut, agar proses belajar mengajar bisa berlangsung nyaman, baik antara guru dengan siswa, siswa dengan wali murid, serta guru dengan wali murid. “Lagi pula aturan ini juga ada yang mengusulkan, beberapa di antaranya dari orangtua siswa. Selanjutnya kami membentuk peraturan ini agar dilaksanakan,” terang Haniah, Rabu (14/7).

Haniah menambahkan, aturan tersebut memang tidak dimintakan persetujuan dulu atau melibatkan komite sekolah. Alasannya, aturan sekolah memang murni dilakukan pihak sekolah tanpa harus melibatkan komite. “Memang benar, komite tidak kami libatkan. Soal mekanisme semuanya dilaksanakan oleh guru dan pihak sekolah,” jelasnya.

Secara terpisah, Ketua Komite SDN Sidokumpul 2, Any Widiastuti belum berhasil dimintai tanggapan karena ponselnya tidak ada yang bisa dihubungi.

Reaksi keras datang dari Ketua Dewan Pendidikan Jatim Prof Dr Zainudin Maliki. Menurutnya, sistem dan aturan denda yang diterapkan di SDN Sidokumpul 2 tidak akan efektif. Meski berdalih demi menegakkan ketertiban dan disiplin sekolah, hal ini justru akan memberi peluang kepada pihak sekolah untuk memainkan denda yang nantinya terkumpul, mengingat budaya masyarakat Indonesia masih sulit untuk diajak jujur.

“Saya yakin, sistem aturan disertai denda ini tidak akan efektif. Malah kami khawatir, jangan-jangan setelah uang denda terkumpul justru akan dimainkan. Dana itu tidak masuk kas sekolah dan menguap,” kata Zainudin Maliki, Rabu (14/7) malam.

Harus dipikirkan kembali, kata Zainudin, apakah dengan menerapkan denda, sekolah bisa tertib dan suasana nyaman akan dirasakan. Justru kalau aturan itu tetap dipaksakan, budaya masyarakat menyuap akan semakin mendapat peluang di sekolah tersebut. “Siswa malah bisa berbuat tercela, karena toh begitu denda dibayar, masalahnya sudah selesai,” tambah Zainudin.

Pakar pendidikan ini menilai bahwa tujuan aturan sekolah tersebut sebenarnya sangat mulia. Dia mencontohkan Singapura yang memiliki tingkat disiplin tinggi. Di negara ini memang menerapkan sistem denda bagi pelanggar aturan, misalnya, meludah, kencing, atau membuang sampah di sembarang tempat, pasti dikenakan didenda. Namun, hal ini didukung budaya masyarakat di Singapura yang disiplin dan tertib hukum.

Berbeda dengan di Surabaya atau daerah lain misalnya, ada Perda (peraturan daerah) tentang denda bagi yang membuang sampah sembarangan, ternyata aturan ini tidak berjalan dan disiplin tidak terwujud.

Menurutnya, aturan sekolah dengan sistem denda tersebut tidak terlalu mendesak. Jadi, sebaiknya dihindari aturan seperti ini. “Sebaiknya membuat kesepakatan saja yang tidak ada kaitannya dengan membayar atau denda. Budaya disiplin, tertib, atau nyaman itu sebaiknya lahir tanpa harus dipaksa-paksa dengan aturan,” katanya.(http://www.surya.co.id)